Minggu, 02 November 2008

Beberapa Metode Pengawetan Beras

Article Index
Beberapa Metode Pengawetan Beras
Page 2
Page 3
Page 4
Page 5
Page 6
Page 7
Page 8
Page 1 of 8
Sering kali beras yang diterima oleh kalangan PNS dan "beras murah" di pasar-pasar merupakan beras rusak yangberbau apek atau kurang layak dikonsumsi, dikarenakan terlalu lama disimpan di gudang atau metode penyimpanan yang "kurang memadai".
Bukan kali itu saja. Entah berapa seringnya kejadian serupa terjadi diberbagai daerah Nusantara dengan jumlah dan bentuk yang beragam. Belum lagiberas apek, khususnya yang dikonsumsi kalangan PNS melalui tunjanganbulanannya. Meskipun taroklah masih layak, toh banyak yang menganggapnyamengurangi selera makan mengingat bau yang masih tercium. Siapa pun tanpa kecuali sangat berkepentingan dengan beras yang tahanlama, terutama mereka yang sering membelinya dalam jumlah banyak demimengirit waktu belanja. Problem di atas mungkin tidak akan separah itu kalau saja sejak dulumanajemennya bersifat komprehensif. Artinya, mencakup mobilisasi masyarakatuntuk mengetahui serta mempraktekkan berbagai kiat memperpanjang waktu dayatahan beras. Yang kita lihat selama ini lain. Mayoritas konsumen kurang memahamibenar. Mereka cenderung merasa cukup puas dengan pola penyimpanan berassecara konvensional. Pokoknya asal tidak melebihi kurun waktu tertentumenurut ukuran tradisi lingkungan setempat meskipun sebenarnya bisadiperpanjang kalau saja tahu caranya. Karena banyak pengetahuan yang memberipeluang ke arah sana. Pakarnya pun banyak di Indonesia. Hanya apresiasinya tidak mencapai sasaran ke seluruh penduduk. Terlebihmedia massa kurang gencar mempublikasikan wawancara, opini, atau kiat yangberkaitan dengan itu.

Akibatnya bisa kita lihat sendiri. Banyak perilaku pemborosan terjadidi kalangan rumah tangga karena salah dalam penyimpanannya. Sehinggadibuanglah sisa beras yang dianggap tidak layak lagi. Terlebih di kalanganorang berada. Mungkin mereka langsung membeli lagi karena dianggap lebihpraktis ketimbang memikirkan yang gituan. Okelah tetap dipakai sampai habis. Apalagi kalau terikat oleh"pantangan atau larangan" membuang beras meskipun sedikit. Yang berartiharus tetap dimakan dengan kondisi apa pun. Tetapi akibatnya. Harus menerimaresiko bagi munculnya benih penyakit. Selanjutnya bila antibodi kurangseimbang untuk menangkalnya maka gangguan tubuh pun tidak terhindarkan lagi. Soalnya beras jenis apa pun tidak akan bebas dari serbuan kutu dankuman. Banyak jenis dari masing-masing itu yang menyenangi tempat dengansuhu tertentu, utamanya suhu hangat seperti di daerah tropis. Sementarabeberapa di antaranya bersifat patogen serta tidak bisa mati pada suhu untukmembuat beras matang menjadi nasi. Adanya kuman/kutu itu pun bisa mengubah komposisi beras. Antara laindengan menghasilkan enzim yang aktif menghidrolisis zat karbohidrat. Selainitu menghidrolisis lemak dan protein yang masing-masing mengakibatkan berasmenjadi busuk. Malah selanjutnya bisa menghasilkan lendir, gas, dan busa.
Semua itu perlu dikatakan karena masih banyak dari kita memandangnyadengan sebelah mata. Mungkin saja karena secara mitos barang ini memangrelatif lebih tahan lama ketimbang produk lainnya. Jadi bisa saja orang merasa mules, pening, atau demam karenamengkonsumsi beras yang tidak layak. Hanya ironinya sering tidak diliriksebagai sumber penyakit. Apalagi kalau korban tidak melihat adanya perubahanfisik secara berarti pada beras. Apa pernah ada orang mengatakan ia sakitperut karena beras. Kalau pun dikatakan ya mungkin rekan yangmendengarkannya akan berpikir dua kali untuk percaya begitu saja. Kambinghitamnya justru diarahkan pada makanan lain selalu pelengkap nasi sepertisambal lada dan gulai pedas. Semua itu bisa kita jadikan cermin untuk masalah bahan pokok lainnya.Bagaimana hubungan korelasi antara kurang apresiasinya pengetahuan tentangpengawetan beras terhadap pemborosan dan kesehatan.
Penelitian Komprehensif
Apa yang dilakukan para pakar di Jepang seputar beras kiranya bisadijadikan referensi maupun inspirasi, meskipun kemudian outputnya tetapharus disesuaikan dengan kondisi sosial, ekonomi, dan kultural di tanah airkalau memang diarahkan untuk konsumsi dalam negeri. Database yang mereka miliki tidak terbatas pada hal-hal yang normatif.Karena itu hasil penelitiannya pun sangat luas. Mencakup juga sifat kimiawipada setiap jenis beras terhadap beragam "material yang mewadahi" maupun"organik yang mempengaruhinya". Masing-masing dikembangkan lagi dalam bentukskema analisis bercabang yang disertai penilaian (kualitas/kuantitas) untuksetiap data kemungkinan. Melalui tim yang terdiri para pakar terkait,terciptalah kerjasama yang menggambarkan suasana komplementer. Akhirnyasetelah melalui proses waktu yang signifikan terciptalah solusi yang tepatguna. Hasil selanjutnya, di samping untuk persediaan dalam negeri, bisa kitaperhatikan melalui media massa, yakni pengiriman konsultan dan penjualanbarang, yang keduanya bertalian dengan beras, ke berbagai negara yangmembutuhkannya.
Kebetulan kami menemukan artikel menarik dari sebuah media massa diJepang. Yakni tentang "High-Voltage Electric Pulses" : alat untuk"mengsterilkan kutu/kuman beras" atau "mencegah beras busuk" secaraekonomis, praktis, dan aman. Terlebih dulu beras dimasukkan ke dalam kantong plastik dengan beberapaelektroda. Berikan pulse listrik "bertegangan" dan "berkecepatan" sangattinggi. Ya masing-masing sekitar 50 Kilo Volt dan 100 kali per detik.Lamanya 15 menit. Ditaksir bahwa hampir semua jenis kumannya musnah seketika. Biayanya sangat murah. Soalnya meskipun menggunakan listrik sebesar itutoh cuurentnya tetap rendah. Untuk Jepang sekitar 2 Yen atau 130 Rupiah perKG. Sedangkan di Indonesia tidak akan sebesar itu mengingat tarif listriknyasampai detik ini masih jauh lebih murah. Memang metode untuk konsumsi pabrik beras ini masih dalam penelitian.Belum sampai pada taraf produktivitas. Masih banyak faktor harusdiperhatikan secara seksama. Jangan sampai ada hal tertentu terabaikantetapi justru bisa menjadi bumerang setelah diproduksi serta dipasarkan.Apalagi bila sampai memunculkan komplain dari para pengguna di kemudianhari. Belum lagi faktor rekomendasi dari lembaga dunia seperti FAO dan WHOmengingat sasaran bisnisnya memang go internasional. Pokoknya entah berapa buah buku tebal dihasilkan bila kertas kerjaseputar peralatan tersebut dikumpulkan. Kabarnya masih membutuhkan dua tahun lagi. Tetapi ini bisa menjadilebih lama bila "terjadi riset serupa di belahan bumi lainnya" atau"ditemukan terobosan baru yang memberikan kredit point". Memang penelitian secara tuntas, detail, dan tim semacam itu sudahmenjadi modal esensial dalam rangka ekspansi ekonomi serta antisipasiterhadap berbagai bentuk persaingan global.
Beras Dalam Gudang
Seperti kita ketahui, beberapa tahun yang lalu Indonesia berhasilmenjadi negara yang berswasembada beras. Entah berapa banyak pihakmancanegara yang mengontak atau mengundang para pakar kita untuk memberipenyuluhan di negaranya masing-masing. Namun selang beberapa tahun saja kembali anjlok, yang puncaknya terjadipada krisis pangan pada tahun 1998, sehingga menjadi negara pengimpor beras.Ketika itu pemerintah sibuk mendatangkan beras dari sejumlah negara sepertiJepang. Sampai-sampai Indonesia terpaksa menjual pesawat buatannya untukditukarkan dengan beras asal Thailand. Namun tingginya prosentase impor justru tanpa disadari akanmemperbanyak kemungkinan masuknya penyakit, yang dibawa bersama bahanmakanan impor tersebut ke dalam negeri. Jadi mau tidak mau harus ada upayauntuk mengkounternya. Berarti menambah pekerjaan lagi. Paling tidak, berbagai negara, seperti Jepang, sangat sensitif terhadapmasalah ini. Sebuah laboratorium di bawah National Food Research Institute (NFRI) diTsukuba secara khusus meneliti berbagai species kutu/kuman yang baru masukdi daratan Jepang, bersamaan masuknya makanan impor. Negeri ini sensitif sekali terhadap masalah pengadaan stok beras (jugabahan makanan pokok lainnya) secara stabil. Malah menjadi agenda prioritasutama pada reformasi kebijakan pertanian Jepang Agustus 1999. Padahal UUpertanian 1961 buatan tahun 1961 tidak menyinggung masalah ini sama sekali.
Ini bisa ditafsirkan sebagai suatu ketakutan negara-negara maju akanadanya krisis pangan pada skala internasional akibat meledaknya jumlahpenduduk dunia tanpa diikuti teknologi pengadaan pangan yang memadai. Memang tidak bisa disangkal lagi. Pertahanan suatu negara terhadapstabilitas stok bahan makanan jauh lebih penting ketimbang pertahanan apapun. Masih hangat di ingatan kita bahwa ketika krisis pangan melandaIndonesia di mana ketika itu banyak sekali terjadi kerusuhan. Nah, apalagi kalau krisis seperti ini terjadi dalam skalainternasional. Bisa-bisa munculnya Perang Dunia III tidak bisa terelakkanlagi. Berbagai negara sekarang berbenah untuk menyimpan bahan makanan dibanyak gudangnya. Mempersiapkan diri menghadapi kondisi terburuk di kemudianhari. Yang menjadi persoalan sekarang adalah bagaimana mempertahankan"sterilisasi" pada beras(juga bahan makanan pokok lainnya) dalam gudang. Iniharus diantisipasi secara serius. Jangan sampai karena salah penanganannyasehingga menjadi busuk seperti peristiwa di gudang Dolog Jaya tersebut.

Selama ini gas untuk sterilisasi beras dalam gudang adalah MethylBromida. Namun penyelidikan kemudian menunjukkan sebagai salah satu penyebabrusaknya lapisan ozon. Karena itu akan dilarang secara bertahap di manatotal pelarangannya berlaku pada tahun 2005 mendatang. Pembasmian kutu dan kuman dalam karung/gudang berisi beras menjaditopik penelitian juga di NFRI Tsukuba. Kelompok penelitinya mencobamemanfaatkan Karbondioksida, gas yang cenderung dibuang percuma begitu saja. Hasilnya memperlihatkan adanya suatu kecenderungan bahwa kutu-kutudalam beras akan mati secara perlahan (kurang lebih 10 hari) bila diberikangas tersebut dalam konsentrasi tinggi. Apalagi kalau diberikan bersamaandengan pemberian tekanan tinggi. Maka gas ini merasuk ke dalam serta merusaksel tubuhnya sehingga matilah seketika. Peralatan sterilisasi beras dengan methoda ini sudah mulai dipakai diJepang. Rasanya ini bisa dijadikan alternatif untuk dikembangkan diIndonesia. Apalagi kandungan karbondioksida di tempat pertambangan gas alamseperti di Natuna diketahui sangat tinggi. Hanya lebih banyak dibuang begitusaja. Belum dimanfaatkan secara optimal.

1 komentar:

Dhimas Fauzi mengatakan...

Terima kasih informasinya..